Selasa, 01 Desember 2015

MAKALAH TEORI KONFLIK



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
            Masyarakat yang ada di kawasan industri terdiri dari beberapa elemen sosial yang terbentuk karena adannya perkembangan suatu proses industrialisasi. Permasalahan yang muncul didalam lingkungan masyarakat industri antara lain : hubungan atau interaksi  antara-atasan pekerja buruh- masyarakat sekitar pabrik, adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan kehadiran bangunan-bangunan pabrik yang berada disekitar masyarakat baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomi hingga pengaruh perkembangan yang mengarah pada pemahaman atas sifat yang materialistik.
            Imbas dari adanya proses industrialisasi tidak lepas dari adanya permasalahan-permasalahan yang cenderung mengarah pada kecemburuan-kecemburuan sosial, baik yang bersifat materialistik maupun yang diakibatkan dari adanya hubungan atau interaksi yang tidak harmonis dari setiap unsur elemen yang ada di masyarakat industri dalam bentuk distorsi-distorsi sosial yang mana dapat menyebabkan suatu konflik dalam masyarakat industri.
            Penekanan teori konflik ini adalah bahwa tingkat struktur sosial yang berada di masyarakat, dimana susunan struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan konsensus yang sekaligus mengarah pada proses konflik sosial. Pemahaman akan konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang nantinta mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas struktur sosial yang ada. Untuk penjelasan selanjutnya mengenai teori konflik akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.


1.2 Rumusan Masalah
            Dari uraian diatas, rumusan masalah yang dapat diambil oleh penulis diantaranya :
1.      Bagaimana biografi dari Lewis A. Coser ?
2.      Bagaimana pemikiran Lewis A. Coser mengenai teori Konflik ?
3.      Bagaimana pengaruh teori konflik terhadap tokoh lain ?
4.      Apa kekurangan dan kelebihan dari teori konflik Lewis Coser ?
1.3 Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah teori sosiologi Klasik II, juga untuk mengetahui :
1.       Biografi dari Lewis A. Coser
2.      Pemikiran Lewis A. Coser mengenai teori Konflik
3.      Pengaruh teori konflik terhadap tokoh lain
4.      Kekurangan dan kelebihan dari teori konflik Lewis Coser



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Lewis Coser
Coser lahir di Berlin tahun 1913, tetapi memperoleh gelar Ph. D. Dari Universitass Columbia tahun 1954. Dia mengajar sebentar di Universitas Chicago, tetapi sebagian besar dari karir akademisnya dihabiskan di Universitas Negeri New York dan Stony Brook. Umumnya analisa Coser mengenai konflik sosial dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap perspektif-perspektif teori konflik radikal yang diinspirasi pandangan Marxis.[1]
Coser merupakan lulusan sekolah Robert Merton. Minat intelektualnya dipusatkan pada teori sosiologi dan ilmu pengetahuan. Karya utamanya yang dipublikasikan adalah The function of Social Conflict (1956), continues in the Study of Social Conflict (1967), dan Master of Sociological Thougt (1971). Dalam karyanya, Coser bertujuan mengklarifikasi dan mengkonsolidasi skema konsep yang berhubungan dengan data konflik sosial, lebih memfokuskan pada fungsi dari pada gangguan fungsi (disfunction) konflik sosial dengan konsekuensi konflik sosial itu yang meningkatkan adaptasi. Hubungan sosial yang khusus atau kelompok. Konflik bagi Coser merupakan perjuangan atas nilai-nilai dan mnuntut status yang langka, kekuasaan, dan sumber yang menetralisasikan tujuan-tujuan lawan untuk melukai atau mengeleminasi lawan-lawan mereka.[2]
Seperti yang mungkin diharapkan dari seorang ahli teori konflik yang menulis pada pertengahan tahun 1950-an, ketika fungsionalisme merupakan orientasi teoretis yang dominan dalam sosiologi Amerika, Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau konsensus normatif, keteraturan, dan keselarasan. Dia mengemukakan bahwa proses konflik dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem itu keseluruhan.[3]
            Ketika Hitler berkuasa di Jerman, Coser melarikan diri ke Paris, tempat ia bekerja serabutan untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Ia menjadi aktif dalam gerakan sosialis, bergabung dengan beberapa kelompok-kelompok radikal, termasuk organisasi Trotskyis yang disebut “The Spark.” Pada tahun 1936, ia akhirnya mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, menjadi seorang ahli statistik untuk perusahaan broker Amerika. Dia juga terdaftar di Sorbonne sebagai mahasiswa sastra komparatif tetapi kemudian mengubah fokus untuk sosiologi.
            Pada tahun 1942 ia menikah Rose Laub; mereka punya dua anak, Ellen dan Steven. Pada tahun 1948, setelah periode singkat sebagai mahasiswa pascasarjana di Columbia University, Coser menerima posisi sebagai tenaga pengajar ilmu sosial di Universitas Chicago. Pada tahun yang sama, ia menjadi warga negara AS naturalisasi. Pada tahun 1950, ia kembali ke Universitas Columbia sekali lagi untuk melanjutkan studinya, menerima gelar doktor pada tahun 1954. Ia diminta oleh Brandeis University di Waltham, Massachusetts pada tahun 1951. Pertama sebagai seorang dosen dan kemudian sebagai profesor sosiologi. Dia tetap di Brandeis, yang dianggap sebagai surga bagi kaum liberal, sampai 1968. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di Cambridge, Massachusetts dalam usia 89 tahun.
2.2 Pemikiran Lewis Coser mengenai Teori Konflik
Teori konflik yang dikembangkan oleh Lewis Coser merupakan refleksi pemikiran Simmel. Teori konflik yang dikonsepsikan Coser merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi Lewis A. Coser, konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Oleh karena itu, konflik bisa menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan. Bagi Coser, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi dan tidak perlu diingkari keberadaannya. Seperti juga halnya George Simmel, yang berpendapat bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar, dan proses konflik itu berhubungan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerja sama dalam berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks.
Terdapat perbedaan antara Lewis Coser dan Simmel. Coser tidak terlalu banyak manaruh perhatian pada hubungan timbal balik yang kompleks dan tidak kentara antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi lainnya pada tingkat antarpribadi, tetapi lebih menyoroti pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul bagi sistem sosial yang lebih besar dimana konflik tersebut terjadi. Coser mermaksud menunjukkan bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat “disfungsional” bagi sistem yang bersangkutan. Konflik bisa juga menimbulkan konsekuensi positif. Dengan demikian, konflik bisa bersifat menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan.
Coser menggambarkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Lebih lanjut Coser menyatakan, perselisihan atau konflik dapar berlangsung antara individu, kumpulan (collectivities), atau antara individu dan kumpulan. Bagaimanapun, konflik antar kelompok maupun yang intra kelompok senantiasa ada di tempat orang hidup bersama. Cosser juga mengatakan, konflik itu merupakan unsur interaksi yang penting, dan sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau memecah belah ataupun merusak. Konflik bisa menyumbang banyak kepada kelestarian kelompok dan mempererat hubungan antara anggotanya. Seperti menghadapi musuh bersama dapat mengintegrasikan orang, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat orang luar akan perselisihan intern mereka sendiri.[4]

Fungsi Positif Konflik Menurut Lewis Coser
            Konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan, dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Contoh yang paling tegas untuk memahami fungsi positif konflik adalah hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara ins-group (kelompok dalam) dengan out-group (kelompok luar). Berikut ini adalah sejumlah proposisi yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser:
1.      Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (ingroup) akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar.
2.      Integritas yang semakin tinggi dari kelompok yang terlibat dalam konflik dapat membantu memperkuat batas antara kelompok itu dan kelompok-kelompok lainnya dalam lingkungan itu, khususnya kelompok yang bermusuhan secara potensial dapat menimbulkan permusuhan.[5]
3.      Didalam kelompok itu kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengotakan, dan semakin tingginya tekanan pada konsensus dan konpormitas.
4.      Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi, kalau mereka ridak dapat dibujuk masuk ke jalan yang benar, mereka mungkin diusir atau dimasukan dalam pengawasan yang ketat.
5. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak terancam konflik dengan kelompok luar yang bermusuhan, tekanan yang kuat pada kekompakan, kompormitas, dan komitmen terhadap kelompok itu mungkin berkurang. Ketidak sepakatan internal mungkin dapat muncul ke permukaan dan dibicarakan, dan para penyimpang lebih ditoleransi. Umumnya, individu akan memperoleh ruang gerak yang lebih besar untuk mengejar kepentingan pribadinya.[6]
6.    Pemikiran Lewis Coser mengenai hubungan antara kelompok dalam dan kelompok luar ini memang ada kemiripannya dengan George Simmel. Salah satu dari proposisi Simmel yang menggambarkan tentang fungsi positif konflik eksternal bagi kelompok internal adalah
Conflict with other groups contributes to establishmen and Reaffirmation of the identity of the group and maintains its boundaries against the surrounding social world”.
          Lebih lanjut Coser menyatakan, fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan meningkatakan moral kelompok sedemikian pentingnya, sehingga kelompok-kelompok (atau pemimpin-pemimpin kelompok) dapat memancing antagonisme dengan kelompok luar atau menciptakan musuh dengan orang luar agar mempertahankan atau meningkatkan solidaritas internal. Realitas ini tidak perlu harus merupakan suatu proses yang disadari. Apapun sumbernya persepsi terhadap ancaman dari luar membantu meningkatkan atau mempertahankan solidaritas internal, apakah realitas ataupun tidak. Malah tidak sekedar itu kalaupun ancaman musuh yang potensial itu hanya hayalan belaka, musuh itu masih dapat berfungsi bagi kelompok itu sebagai kambinghitam.
          Sesungguhnya ketegangan dalam suatu kelompok dapat dihindarkan agar tidak merusakkan kelompok itu, kalau ketegangan itu dapat diproyeksikan kesuatu sumber yang ada di luar. Hasilnya adalah bahwa para anggota kelompok mempermasalahkan musuh luar karena kesulitan-kesulitan internalnya dari pada membiarkan kesulitan-kesulitan ini menghasilkan perpecahan atau konflik dalam kelompok itu sendiri.
          Bagaimana telah disinggung di atas, dalam setiap masyarakat sering kali dikembangkan suatu mekanisme untuk meredakan ketegangan yang muncul, sehingga struktur sebagai keseluruhan tidak terancam keutuhannya. Mekanisme ini oleh Coser dinamakan Sefety Valve (kantup pengaman). Coser memang mengakui bahwa konflik itu dapat membahayakan persatuan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya tersebut dapa dikurangi atau bahkan diredam. Baginya, kantup pengaman ini sebagai institusi (Sefety Valve Institution). Sehubungan dengan ini, berarti dia telah mengisyaratkan bahwa semua elemen yang terdapat dalam institusi sosial harus terdapat pula di dalam kantup pengaman ini. Sesutau yang sangat bernilai dalam konteks ini adalah kesatuan masyarakat tetapi bagaimana seandainya ada orang atau kelompok yang merasa tidak puas dengan sistem yang berlaku? Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapatlah diambil contoh sebagai kantup pengaman untuk menertibkan dan menyalurkan semua aspirasi, termasuk perasaan kurang puas terhadap sistem politik yang ada atau sedang berlaku. Dengan cara demikian, dorongan-dorongan agresip atau permusuhan dapat diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas dan kesatuan masyarakat. Menurut Coser, kantup pengaman ini di samping dapat berbentuk institusi sosial dapat juga berbentuk tindakan-tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang dapat mengurangi ketegangan, karena konflik tidak dapat tersalurkan. Lelucon yang diselipkan dalam situasi tegang dapat juga mengurangi atau menghilangkan ketegangan yang terjadi, sekalipun sebenarnya lelucon itu sendiri boleh jadi tetap mengandung nilai kritik.[7]
          Coser menyatakan bahwa faktor-faktor struktural tidak langsung bergerak di atas perilaku sosial, tetapi dijembatani oleh proses interaksi sosial dimana konflik sosial adalah yang utama, walau sama sekali bukan merupakan satu-satunya. Walaupun beberapa ahli sosiologi menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda, teori fungsionalis struktural vs teori konflik. Namun, Coser pada komitmennya tidak kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut, karena Coser berpendapat bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkung seluruh fenomena. Karya Coser tidak ingin mengkonstruksi teori umum, tetapi karyanya berusaha untuk menjelaskan konsep konflik sosial serta mengonsolidasikan skema konsep itu sesuai dengan data yang berlangsung dalam konflik sosial tersebut.
          Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsionalis struktural, tetapi ia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Menurut Coser, bahwa konflik itu bersifat fungsionalis (baik) dan disfungsionalis (buruk) bagi hubungan-hubungan dan struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu keseluruhan. Perhatian Coser cenderung melihat dari sisi fungsi bukan dari sisi disfungsinya. Karena Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisasi atau dilangsungkan, atau dieliminasi saingan-saingannya. Jadi, hal-hal yang esensial tidak perlu dipertentangkan. Dengan demikian, dinyatakan bahwa konsekuensi konflik sosial akan mengarah pada peningkatan dan bukan kemerosotan, adaptasi atau penyesuaian baik hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara keseluruhan.[8]
          Coser dengan konflik fungsionalnya menyatakan, bahwa konflik dapat mengubah bentuk interaksi, sedangkan ungkapan perasaan permusuhan tidaklah demikian. Coser merumuskan fungsionalisme ketika membicarakan tentang konflik disfungsional bagi struktur sosial ketika terdapat toleransi atau tidak terdapat konflik. Intensitas konflik itu lantas mengancam adanya suatu perpecahan yang akan menyerang basis konsensus sistem sosial berhubungan dengan kekakuan suatu struktur. Apa yang mengancam kondisi pecah belah bukanlah konflik melainkan kekacauan struktur itu sendiri, yang mendorong adanya permusuhan yang terakumulasi dan tertuju pada suatu garis pokok perpecahan yang dapat meledakkan konflik. [9]
          Coser mencampur baurkan pengertian fungsionalisme dengan penjelasan yang nyata terlepas dari fungsionalisme. Tetapi fungsionalisme sering kali muncul kembali dan disimpulkannya lebih banyak dipaksakan, yakni tatkala menjelaskan bahwa ia telah menguji kondisi di bawah konflik sosial dan proses adaptasi hubungan-hubungan sosial serta struktur-struktunya.
2.3 Pengaruh terhadap Para tokoh
            Pemikiran awal tentang fungsi konflik sosial berasal dari George Simmel, tetapi diperluas oleh Coser yang menyatakan bahwa konflik dapat membuat menargetkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi kepaduanYahudi Israel, setidaknya sebagian, ikut berperan dalam berlarut-larutnya konflik dengan bangsa Arab di Timur Tengah. Kemungkinan berakhirnya konflik justru dapat memperburuk ketegangan mendasar di dalam masyarakat Israel. Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah sebuah pemikiran yang sejak lama diakui oleh tukang propaganda yang dapat menciptakan musuh yang sebenarnya tak ada, atau mencoba menghembus antagonisme terhadap lawan yang tidak aktif.[10]
2.4 Kekurangan dan Kelebihan Teori konflik Lewis Coser
            Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme struktural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. [11]       
            Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama ini. sumbangan Coser pada teori yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme itu, walaupun tidak seketat model naturalistis, dapat dilihat dari asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan masyarakat yang implisit tercakup dalam teori sosiologisnya. Coser dengan sangat jelas mengatakan bahwa dia lebih menganggap teori konflik sebagai teori parsial dari pada sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia sependapat dengan Robin-William, seorang penganut fungsionalisme yang mengatakan: “Masayarakat aktual terjalin bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan, oleh sosiabilitas dan oleh paksaan. Tugas yang sesungguhnya ialah menunjukkan bagaimana berbagai proses serta struktur sosial aktual yang berjalan di sana dapat diramalkan dan dijelaskan.[12]
            Pandangan Coser tentang teori sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori konflik maupun konsensus yang parsial. Teori-teori parsial dengan demikian itu merangsang para pengamat sehingga peka terhadap satu atau lebih perangkat data yang relevan bagi penjelasan teoritis yang menyeluruh”. Dia membandingkan teori sosiologis dengan teori ilmu sosial lainnya dan mengetengahkan keyakinannya.[13]
            Dalam tradisi Durkheim, yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan fakta-fakta sosial lainnya, Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indikator objektif untuk menjelaskan realita sosial. Dengan demikian model manusia dari Coser jelas berada di luar bidang psikologi sosial dan sebenarnya lebih dekat dengan kubu sosiologi tradisional. Manusia bukan merupakan sukma bebas yang dapat melakukan segala yang diinginkannya, melainkan dihambat oleh lembaga-lembaga sosial dimana mereka berada. Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subjektif seperti rumusan Charles Horton Cooley atau George Herbert Mead, tetapi realitas objektif seperti yang dimaksud oleh Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya.
            Menurut Coser walaupun kaum intelektual membantu menetapkan norma-norma serta nilai-nilai kultural, tetapi hal itu hanya dapat mereka lakukan dalam iklim yang menunjang pengembangan pengetahuan “para aktor dan lingkungan mereka” keduanya harus ada. Tekanan yang sama terlihat jelas disaat Coser membahas para sarjana klasik dalam bukunya Master of socilogy Thought. Dengan menggunakan kerangka sosiologi pengetahuan yang mengaitkan pemikiran dengan lingkungan kultural yang lebih luas dan leboh personal Coser menunjukkan bahwa karya para ahli itu berkaitan dengan konteks historis serta sejarah kehidupa pribadi mereka.[14]
















BAB III
PENUTUP
       3.1       Kesimpulan
            Kesimpulan yang diambil dari pemaparan diatas, yaitu sebagai berikut :
1.      Coser lahir di Berlin tahun 1913, tetapi memperoleh gelar Ph. D. Dari Universitass Columbia tahun 1954. Dia mengajar sebentar di Universitas Chicago, tetapi sebagian besar dari karir akademisnya dihabiskan di Universitas Negeri New York dan Stony Brook. Umumnya analisa Coser mengenai konflik sosial dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap perspektif-perspektif teori konflik radikal yang diinspirasi pandangan Marxis. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di Cambridge, Massachusetts dalam usia 89 tahun.
2.      Teori konflik yang dikonsepsikan Coser merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi Lewis A. Coser, konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif.
3.      Pemikiran awal tentang fungsi konflik sosial berasal dari George Simmel, tetapi diperluas oleh Coser yang menyatakan bahwa konflik dapat membuat menargetkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar.
4.      Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas. Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama ini.






[1] Doyle Paul Johnson,1990, Teori Sosiologi klasik dan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. Diindonesiakan oleh Robert M.Z Lawang. Hal. 195.
[2]Graham C. Kinloch, 2009, perkembangan dan paradigma utama teori sosiologi, Pustaka Setia; Bandung. Hal. 226-227.
[3]Paul Johnson, Op.Cit., Hal. 195
[4] I.B. Wirawan, 2012, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Hal 82.
[5]Ibid., Hal 83.
[6]Ibid., Hal 84.
[7]Ibid., Hal. 85.
[8]Ibid., Hal 86.
[9]Ibid., Hal 87.
[10] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group: Jakarta, Hal. 159
[11]Ibid, Hal. 157
[12] Margaret M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer. RajaGrafindo: Jakarta. Hal. 121
[13]Ibid, Hal. 122
[14]Ibid, Hal. 123