BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat yang ada di kawasan
industri terdiri dari beberapa elemen sosial yang terbentuk karena adannya
perkembangan suatu proses industrialisasi. Permasalahan yang muncul didalam
lingkungan masyarakat industri antara lain : hubungan atau interaksi antara-atasan pekerja buruh- masyarakat
sekitar pabrik, adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan kehadiran
bangunan-bangunan pabrik yang berada disekitar masyarakat baik yang bersifat
sosial, budaya, ekonomi hingga pengaruh perkembangan yang mengarah pada
pemahaman atas sifat yang materialistik.
Imbas dari adanya proses
industrialisasi tidak lepas dari adanya permasalahan-permasalahan yang
cenderung mengarah pada kecemburuan-kecemburuan sosial, baik yang bersifat
materialistik maupun yang diakibatkan dari adanya hubungan atau interaksi yang
tidak harmonis dari setiap unsur elemen yang ada di masyarakat industri dalam
bentuk distorsi-distorsi sosial yang mana dapat menyebabkan suatu konflik dalam
masyarakat industri.
Penekanan teori konflik ini adalah
bahwa tingkat struktur sosial yang berada di masyarakat, dimana susunan
struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan konsensus yang
sekaligus mengarah pada proses konflik sosial. Pemahaman akan konflik menurut
Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam
masyarakat yang nantinta mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang
sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas
struktur sosial yang ada. Untuk penjelasan selanjutnya mengenai teori konflik
akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, rumusan masalah
yang dapat diambil oleh penulis diantaranya :
1.
Bagaimana
biografi dari Lewis A. Coser ?
2.
Bagaimana
pemikiran Lewis A. Coser mengenai teori Konflik ?
3.
Bagaimana
pengaruh teori konflik terhadap tokoh lain ?
4.
Apa
kekurangan dan kelebihan dari teori konflik Lewis Coser ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
selain untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah teori sosiologi Klasik
II, juga untuk mengetahui :
1.
Biografi dari Lewis A. Coser
2.
Pemikiran
Lewis A. Coser mengenai teori Konflik
3.
Pengaruh
teori konflik terhadap tokoh lain
4.
Kekurangan
dan kelebihan dari teori konflik Lewis Coser
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Lewis Coser
Coser lahir di Berlin tahun 1913, tetapi memperoleh gelar Ph. D.
Dari Universitass Columbia tahun 1954. Dia mengajar sebentar di Universitas
Chicago, tetapi sebagian besar dari karir akademisnya dihabiskan di Universitas
Negeri New York dan Stony Brook. Umumnya analisa Coser mengenai konflik sosial
dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap perspektif-perspektif teori
konflik radikal yang diinspirasi pandangan Marxis.[1]
Coser merupakan lulusan sekolah Robert Merton. Minat intelektualnya
dipusatkan pada teori sosiologi dan ilmu pengetahuan. Karya utamanya yang
dipublikasikan adalah The function of
Social Conflict (1956), continues in
the Study of Social Conflict (1967), dan Master of Sociological Thougt (1971). Dalam karyanya, Coser
bertujuan mengklarifikasi dan mengkonsolidasi skema konsep yang berhubungan
dengan data konflik sosial, lebih memfokuskan pada fungsi dari pada gangguan
fungsi (disfunction) konflik sosial
dengan konsekuensi konflik sosial itu yang meningkatkan adaptasi. Hubungan
sosial yang khusus atau kelompok. Konflik bagi Coser merupakan perjuangan atas
nilai-nilai dan mnuntut status yang langka, kekuasaan, dan sumber yang
menetralisasikan tujuan-tujuan lawan untuk melukai atau mengeleminasi
lawan-lawan mereka.[2]
Seperti yang mungkin diharapkan dari seorang ahli teori konflik
yang menulis pada pertengahan tahun 1950-an, ketika fungsionalisme merupakan
orientasi teoretis yang dominan dalam sosiologi Amerika, Coser memulai
pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau konsensus
normatif, keteraturan, dan keselarasan. Dia mengemukakan bahwa proses konflik
dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional
terhadap keseimbangan sistem itu keseluruhan.[3]
Ketika Hitler berkuasa di Jerman, Coser melarikan diri ke
Paris, tempat ia bekerja serabutan untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Ia
menjadi aktif dalam gerakan sosialis, bergabung dengan beberapa
kelompok-kelompok radikal, termasuk organisasi Trotskyis yang disebut “The
Spark.” Pada tahun 1936, ia akhirnya mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik, menjadi seorang ahli statistik untuk perusahaan broker Amerika. Dia juga
terdaftar di Sorbonne sebagai mahasiswa sastra komparatif tetapi kemudian
mengubah fokus untuk sosiologi.
Pada tahun 1942 ia menikah Rose Laub; mereka punya dua
anak, Ellen dan Steven. Pada tahun 1948, setelah periode singkat sebagai
mahasiswa pascasarjana di Columbia University, Coser menerima posisi sebagai
tenaga pengajar ilmu sosial di Universitas Chicago. Pada tahun yang sama, ia
menjadi warga negara AS naturalisasi. Pada tahun 1950, ia kembali ke
Universitas Columbia sekali lagi untuk melanjutkan studinya, menerima gelar
doktor pada tahun 1954. Ia diminta oleh Brandeis University di Waltham,
Massachusetts pada tahun 1951. Pertama sebagai seorang dosen dan kemudian
sebagai profesor sosiologi. Dia tetap di Brandeis, yang dianggap sebagai surga bagi
kaum liberal, sampai 1968. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di
Cambridge, Massachusetts dalam usia 89 tahun.
2.2 Pemikiran Lewis Coser mengenai Teori Konflik
Teori konflik yang dikembangkan oleh Lewis Coser merupakan refleksi
pemikiran Simmel. Teori konflik yang dikonsepsikan Coser merupakan sebuah
sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi Lewis A. Coser, konflik yang
terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya
saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Oleh karena itu, konflik
bisa menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan. Bagi Coser, konflik merupakan
salah satu bentuk interaksi dan tidak perlu diingkari keberadaannya. Seperti
juga halnya George Simmel, yang berpendapat bahwa konflik merupakan salah satu
bentuk interaksi sosial yang dasar, dan proses konflik itu berhubungan dengan
bentuk-bentuk alternatif seperti kerja sama dalam berbagai cara yang tak
terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks.
Terdapat perbedaan antara Lewis Coser dan Simmel. Coser tidak
terlalu banyak manaruh perhatian pada hubungan timbal balik yang kompleks dan
tidak kentara antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi lainnya pada tingkat
antarpribadi, tetapi lebih menyoroti pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul
bagi sistem sosial yang lebih besar dimana konflik tersebut terjadi. Coser
mermaksud menunjukkan bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat
“disfungsional” bagi sistem yang bersangkutan. Konflik bisa juga menimbulkan
konsekuensi positif. Dengan demikian, konflik bisa bersifat menguntungkan bagi
sistem yang bersangkutan.
Coser menggambarkan konflik sebagai perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Pihak-pihak yang
sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang
diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.
Lebih lanjut Coser menyatakan, perselisihan atau konflik dapar berlangsung
antara individu, kumpulan (collectivities),
atau antara individu dan kumpulan. Bagaimanapun, konflik antar kelompok maupun
yang intra kelompok senantiasa ada di tempat orang hidup bersama. Cosser juga
mengatakan, konflik itu merupakan unsur interaksi yang penting, dan sama sekali
tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau memecah belah
ataupun merusak. Konflik bisa menyumbang banyak kepada kelestarian kelompok dan
mempererat hubungan antara anggotanya. Seperti menghadapi musuh bersama dapat
mengintegrasikan orang, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat
orang luar akan perselisihan intern mereka sendiri.[4]
Fungsi Positif Konflik Menurut Lewis
Coser
Konflik merupakan cara atau alat
untuk mempertahankan, mempersatukan, dan bahkan mempertegas sistem sosial yang
ada. Contoh yang paling tegas untuk memahami fungsi positif konflik adalah
hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara ins-group (kelompok dalam) dengan out-group (kelompok luar). Berikut ini adalah sejumlah proposisi
yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser:
1.
Kekuatan
solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (ingroup) akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau
konflik dengan kelompok luar bertambah besar.
2.
Integritas
yang semakin tinggi dari kelompok yang terlibat dalam konflik dapat membantu
memperkuat batas antara kelompok itu dan kelompok-kelompok lainnya dalam
lingkungan itu, khususnya kelompok yang bermusuhan secara potensial dapat
menimbulkan permusuhan.[5]
3.
Didalam
kelompok itu kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau
pengotakan, dan semakin tingginya tekanan pada konsensus dan konpormitas.
4.
Para
penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi, kalau mereka ridak dapat
dibujuk masuk ke jalan yang benar, mereka mungkin diusir atau dimasukan dalam
pengawasan yang ketat.
5.
Sebaliknya,
apabila kelompok itu tidak terancam konflik dengan kelompok luar yang
bermusuhan, tekanan yang kuat pada kekompakan, kompormitas, dan komitmen
terhadap kelompok itu mungkin berkurang. Ketidak sepakatan internal mungkin
dapat muncul ke permukaan dan dibicarakan, dan para penyimpang lebih
ditoleransi. Umumnya, individu akan memperoleh ruang gerak yang lebih besar
untuk mengejar kepentingan pribadinya.[6]
6.
Pemikiran Lewis Coser mengenai hubungan
antara kelompok dalam dan kelompok luar ini memang ada kemiripannya dengan
George Simmel. Salah satu dari proposisi Simmel yang menggambarkan tentang
fungsi positif konflik eksternal bagi kelompok internal adalah
“Conflict with other groups
contributes to establishmen and Reaffirmation of the identity of the group and
maintains its boundaries against the surrounding social world”.
Lebih lanjut Coser
menyatakan, fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan
meningkatakan moral kelompok sedemikian pentingnya, sehingga kelompok-kelompok
(atau pemimpin-pemimpin kelompok) dapat memancing antagonisme dengan kelompok
luar atau menciptakan musuh dengan orang luar agar mempertahankan atau
meningkatkan solidaritas internal. Realitas ini tidak perlu harus merupakan
suatu proses yang disadari. Apapun sumbernya persepsi terhadap ancaman dari
luar membantu meningkatkan atau mempertahankan solidaritas internal, apakah
realitas ataupun tidak. Malah tidak sekedar itu kalaupun ancaman musuh yang
potensial itu hanya hayalan belaka, musuh itu masih dapat berfungsi bagi
kelompok itu sebagai kambinghitam.
Sesungguhnya
ketegangan dalam suatu kelompok dapat dihindarkan agar tidak merusakkan
kelompok itu, kalau ketegangan itu dapat diproyeksikan kesuatu sumber yang ada
di luar. Hasilnya adalah bahwa para anggota kelompok mempermasalahkan musuh
luar karena kesulitan-kesulitan internalnya dari pada membiarkan
kesulitan-kesulitan ini menghasilkan perpecahan atau konflik dalam kelompok itu
sendiri.
Bagaimana telah
disinggung di atas, dalam setiap masyarakat sering kali dikembangkan suatu
mekanisme untuk meredakan ketegangan yang muncul, sehingga struktur sebagai
keseluruhan tidak terancam keutuhannya. Mekanisme ini oleh Coser dinamakan Sefety Valve (kantup pengaman). Coser
memang mengakui bahwa konflik itu dapat membahayakan persatuan. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya tersebut dapa dikurangi atau bahkan
diredam. Baginya, kantup pengaman ini sebagai institusi (Sefety Valve Institution). Sehubungan dengan ini, berarti dia telah
mengisyaratkan bahwa semua elemen yang terdapat dalam institusi sosial harus
terdapat pula di dalam kantup pengaman ini. Sesutau yang sangat bernilai dalam
konteks ini adalah kesatuan masyarakat tetapi bagaimana seandainya ada orang
atau kelompok yang merasa tidak puas dengan sistem yang berlaku? Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dapatlah diambil contoh sebagai kantup pengaman untuk
menertibkan dan menyalurkan semua aspirasi, termasuk perasaan kurang puas
terhadap sistem politik yang ada atau sedang berlaku. Dengan cara demikian,
dorongan-dorongan agresip atau permusuhan dapat diungkapkan dengan cara-cara
yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas dan kesatuan masyarakat.
Menurut Coser, kantup pengaman ini di samping dapat berbentuk institusi sosial
dapat juga berbentuk tindakan-tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang dapat
mengurangi ketegangan, karena konflik tidak dapat tersalurkan. Lelucon yang
diselipkan dalam situasi tegang dapat juga mengurangi atau menghilangkan
ketegangan yang terjadi, sekalipun sebenarnya lelucon itu sendiri boleh jadi
tetap mengandung nilai kritik.[7]
Coser menyatakan
bahwa faktor-faktor struktural tidak langsung bergerak di atas perilaku sosial,
tetapi dijembatani oleh proses interaksi sosial dimana konflik sosial adalah
yang utama, walau sama sekali bukan merupakan satu-satunya. Walaupun beberapa
ahli sosiologi menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda, teori
fungsionalis struktural vs teori konflik. Namun, Coser pada komitmennya tidak
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut, karena Coser berpendapat
bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkung seluruh fenomena.
Karya Coser tidak ingin mengkonstruksi teori umum, tetapi karyanya berusaha
untuk menjelaskan konsep konflik sosial serta mengonsolidasikan skema konsep
itu sesuai dengan data yang berlangsung dalam konflik sosial tersebut.
Coser mengakui
beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu
proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsionalis struktural, tetapi ia juga
menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Menurut Coser, bahwa konflik
itu bersifat fungsionalis (baik) dan disfungsionalis (buruk) bagi
hubungan-hubungan dan struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial sebagai
suatu keseluruhan. Perhatian Coser cenderung melihat dari sisi fungsi bukan
dari sisi disfungsinya. Karena Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai
suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka,
kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisasi atau
dilangsungkan, atau dieliminasi saingan-saingannya. Jadi, hal-hal yang esensial
tidak perlu dipertentangkan. Dengan demikian, dinyatakan bahwa konsekuensi
konflik sosial akan mengarah pada peningkatan dan bukan kemerosotan, adaptasi
atau penyesuaian baik hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara
keseluruhan.[8]
Coser dengan konflik
fungsionalnya menyatakan, bahwa konflik dapat mengubah bentuk interaksi,
sedangkan ungkapan perasaan permusuhan tidaklah demikian. Coser merumuskan
fungsionalisme ketika membicarakan tentang konflik disfungsional bagi struktur
sosial ketika terdapat toleransi atau tidak terdapat konflik. Intensitas
konflik itu lantas mengancam adanya suatu perpecahan yang akan menyerang basis
konsensus sistem sosial berhubungan dengan kekakuan suatu struktur. Apa yang
mengancam kondisi pecah belah bukanlah konflik melainkan kekacauan struktur itu
sendiri, yang mendorong adanya permusuhan yang terakumulasi dan tertuju pada
suatu garis pokok perpecahan yang dapat meledakkan konflik. [9]
Coser mencampur
baurkan pengertian fungsionalisme dengan penjelasan yang nyata terlepas dari fungsionalisme.
Tetapi fungsionalisme sering kali muncul kembali dan disimpulkannya lebih
banyak dipaksakan, yakni tatkala menjelaskan bahwa ia telah menguji kondisi di
bawah konflik sosial dan proses adaptasi hubungan-hubungan sosial serta
struktur-struktunya.
2.3 Pengaruh terhadap Para tokoh
Pemikiran awal tentang fungsi
konflik sosial berasal dari George Simmel, tetapi diperluas oleh Coser yang
menyatakan bahwa konflik dapat membuat menargetkan ikatan kelompok yang
terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau
berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi
kepaduanYahudi Israel, setidaknya sebagian, ikut berperan dalam
berlarut-larutnya konflik dengan bangsa Arab di Timur Tengah. Kemungkinan
berakhirnya konflik justru dapat memperburuk ketegangan mendasar di dalam
masyarakat Israel. Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah
sebuah pemikiran yang sejak lama diakui oleh tukang propaganda yang dapat
menciptakan musuh yang sebenarnya tak ada, atau mencoba menghembus antagonisme
terhadap lawan yang tidak aktif.[10]
2.4 Kekurangan dan Kelebihan Teori
konflik Lewis Coser
Teori konflik telah dikritik dengan
berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan
stabilitas, sedangkan fungsionalisme struktural diserang karena mengabaikan
konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik karena berideologi radikal,
sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. [11]
Walaupun Coser kadang-kadang
ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma kaum
fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya
terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama
ini. sumbangan Coser pada teori yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme
itu, walaupun tidak seketat model naturalistis, dapat dilihat dari
asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan masyarakat yang implisit tercakup dalam
teori sosiologisnya. Coser dengan sangat jelas mengatakan bahwa dia lebih
menganggap teori konflik sebagai teori parsial dari pada sebagai pendekatan
yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia sependapat dengan
Robin-William, seorang penganut fungsionalisme yang mengatakan: “Masayarakat
aktual terjalin bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan, oleh
sosiabilitas dan oleh paksaan. Tugas yang sesungguhnya ialah menunjukkan
bagaimana berbagai proses serta struktur sosial aktual yang berjalan di sana
dapat diramalkan dan dijelaskan.[12]
Pandangan Coser tentang teori
sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori konflik
maupun konsensus yang parsial. Teori-teori parsial dengan demikian itu
merangsang para pengamat sehingga peka terhadap satu atau lebih perangkat data
yang relevan bagi penjelasan teoritis yang menyeluruh”. Dia membandingkan teori
sosiologis dengan teori ilmu sosial lainnya dan mengetengahkan keyakinannya.[13]
Dalam tradisi Durkheim, yang
menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan
fakta-fakta sosial lainnya, Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis
yang menggunakan indikator objektif untuk menjelaskan realita sosial. Dengan
demikian model manusia dari Coser jelas berada di luar bidang psikologi sosial
dan sebenarnya lebih dekat dengan kubu sosiologi tradisional. Manusia bukan
merupakan sukma bebas yang dapat melakukan segala yang diinginkannya, melainkan
dihambat oleh lembaga-lembaga sosial dimana mereka berada. Bagi Coser realitas
bukan merupakan realitas subjektif seperti rumusan Charles Horton Cooley atau
George Herbert Mead, tetapi realitas objektif seperti yang dimaksud oleh
Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya.
Menurut Coser walaupun kaum
intelektual membantu menetapkan norma-norma serta nilai-nilai kultural, tetapi
hal itu hanya dapat mereka lakukan dalam iklim yang menunjang pengembangan
pengetahuan “para aktor dan lingkungan mereka” keduanya harus ada. Tekanan yang
sama terlihat jelas disaat Coser membahas para sarjana klasik dalam bukunya Master
of socilogy Thought. Dengan menggunakan kerangka sosiologi pengetahuan yang
mengaitkan pemikiran dengan lingkungan kultural yang lebih luas dan leboh
personal Coser menunjukkan bahwa karya para ahli itu berkaitan dengan konteks
historis serta sejarah kehidupa pribadi mereka.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil dari
pemaparan diatas, yaitu sebagai berikut :
1.
Coser
lahir di Berlin tahun 1913, tetapi memperoleh gelar Ph. D. Dari Universitass
Columbia tahun 1954. Dia mengajar sebentar di Universitas Chicago, tetapi
sebagian besar dari karir akademisnya dihabiskan di Universitas Negeri New York
dan Stony Brook. Umumnya analisa Coser mengenai konflik sosial dapat dipandang
sebagai suatu alternatif terhadap perspektif-perspektif teori konflik radikal
yang diinspirasi pandangan Marxis. Coser meninggal pada
tanggal 8 Juli 2003, di Cambridge, Massachusetts dalam usia 89 tahun.
2.
Teori
konflik yang dikonsepsikan Coser merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat
fungsional. Bagi Lewis A. Coser, konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak
semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan
dampak positif.
3.
Pemikiran
awal tentang fungsi konflik sosial berasal dari George Simmel, tetapi diperluas
oleh Coser yang menyatakan bahwa konflik dapat membuat menargetkan ikatan
kelompok yang terstruktur secara longgar.
4.
Teori
konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang
karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas. Walaupun Coser kadang-kadang
ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma kaum
fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya
terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama
ini.
[1] Doyle Paul
Johnson,1990, Teori Sosiologi klasik dan
Modern, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. Diindonesiakan oleh Robert M.Z
Lawang. Hal. 195.
[2]Graham C.
Kinloch, 2009, perkembangan dan paradigma
utama teori sosiologi, Pustaka Setia; Bandung. Hal. 226-227.
[3]Paul Johnson, Op.Cit., Hal. 195
[4] I.B. Wirawan,
2012, Teori-Teori Sosial dalam Tiga
Paradigma, Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Hal 82.
[10] George Ritzer
dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media
Group: Jakarta, Hal. 159
[12] Margaret M.
Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer. RajaGrafindo: Jakarta. Hal. 121